Kisah Anus dan Office Boy

Office Boy juga manusia/Sumber: olx.co.id

Kalangan pekerja kantoran tentu akrab dengan yang namanya Office Boy (OB) (atau Office Girl, jika perempuan).

Ya, dahulu sebutannya “pesuruh kantor”. Lebih jadul lagi, sebutannya “opas”. Tapi, dari zaman kolonial sampai zaman milenial sekarang ini, tugasnya itu-itu saja, yakni mengurus keperluan kantor. Mulai dari menjaga kantor, bersih-bersih kantor, memfotokopi atau mengantarkan dokumen, membuat minuman atau membelikan atau mengantarkan makanan bagi karyawan, hingga memperbaiki peralatan kantor yang rusak, semisal mesin fotokopi atau AC.

Beruntunglah di era milenial kini, sebagian tugas mereka, seperti menjaga kantor, membelikan makanan dan mengantarkan dokumen atau memperbaiki peralatan rusak, sudah banyak diambil alih satpam, kurir, dan pengojek online (ojol) atau petugas reparasi panggilan. Kendati belum semua kantor menerapkannya. Masih ada yang membebankan tugas multi-fungsi atau sapu jagat seperti di atas kepada kalangan pekerja yang dianggap kelas bawah ini.

Oleh karena itu, biasanya dalam struktur organisasi perusahaan, OB ditempatkan di bagian urusan umum atau General Affairs Department, istilah kerennya. Tugas umum, untuk kepentingan umum (baca: keperluan seluruh penghuni kantor), dan gajinya umum-umum saja (baca: sesuai Upah Minimum Regional atau UMR), bahkan tergolong rendah, atau di bawah UMR.

Sebagai karyawan di jenjang terendah, tak jarang mereka diperlakukan rendah pula, seperti dimaki-maki jika kerjaan tak beres sedikit; gaji dibayarkan paling terakhir atau yang duluan di-PHK jika perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Sudahlah gaji rendah, perlakuan yang diterima pun rendah. Tidak di-uwongke, dalam istilah bahasa Jawa, atau tidak “diorangkan” alias tidak diperlakukan secara terhormat sebagaimana perlakuan selayaknya untuk manusia bermartabat.

Ada sekelumit kisah menarik terkait hal tersebut, yang saya baca dari salah satu kisah bijak para sufi.

Suatu ketika berlangsunglah rapat akbar organ-organ tubuh. Segenap organ tubuh hadir dan berkumpul untuk membahas agenda pengangkatan ketua.

“Pilihlah saya! Karena saya, manusia dapat melihat!” Mata mulai berkampanye.

“Saya yang lebih pantas jadi ketua. Manusia tak bisa berpikir dan tidak ada apa-apanya tanpa saya!” balas Otak tak mau kalah. Berturut-turut Tangan, Kaki, Hati, Jantung, Ginjal dll saling berkampanye, saling mencela dan menonjolkan kelebihan masing-masing. Rapat pun mengalami deadlock atau kebuntuan.

“Sudahlah! Kenapa sih saling bertengkar? Kalian mau tahu pendapatku tidak?” Anus berusaha menengahi.

“Pendapatmu?!” tukas yang lain. “Buat apa? Kamu itu tidak pantas dibandingkan kami. Tempatmu di belakang, tempat manusia membuang kotorannya. Menjijikkan!”

Anus alias Dubur sangat kecewa. Esoknya ia mengumumkan mogok kerja. Alhasil, ekskresi pembuangan tinja manusia mogok total. Sang manusia tidak bisa buang hajat alias buang air besar. Zat-zat beracun hasil metabolisme tubuh yang semestinya dibuang rutin terhambat untuk keluar. Zat-zat yang tidak terbuang itu berputar-putar kembali dalam sistem peredaran darah, hingga merusak ginjal. Merusak hati dan otak pun terhenti, karena tidak mendapat oksigen dari metabolism yang mendadak kacau.

Akhirnya seluruh fungsi organ tubuh terhenti. Manusia pun mati. Semata-mata karena Anus, yang diremehkan dan dinegasikan fungsinya, memilih mogok kerja.

Dalam sebuah struktur bangunan, semua elemennya mulai dari semen, kayu, besi cor dan sebagainya ditempatkan sesuai fungsinya untuk saling menguatkan. Tidak ada yang statusnya hina atau rendah. Besi cor tidak hina hanya karena ia berada di dalam, tidak terlihat atau menonjol keluar. Justru jika ia menonjol keluar, itu hal yang berbahaya sekaligus merusak harmoni arsitektur yang ada.

Demikian juga dengan keberadaan OB.

Sekitar 2002, delapan belas tahun silam, saat saya menjadi pengajar pada salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di bilangan Jakarta Timur, saya berkawan akrab dengan satu-satunya OB lembaga kursus itu. Jo, panggilannya, kependekan dari Kurijo, bukan Johanes atau Joshua. Ia lajang Ortega, Orang Tegal Asli. Hanya tamatan SMP di kampungnya, dan bergaji 300 ribu sebulan dengan jam kerja yang nyaris 24 jam sepekan sebagai penjaga kantor. Namun ia tipe pekerja keras yang sangat pendiam dan nyaris tak pernah mengeluh.

Hanya sekali, yang saya ingat, Jo ngambek dan mogok kerja; pergi ke rumah saudaranya. Itu karena gajinya yang secuil itu disunat oknum staf administrasi. Lumpuhlah kantor kami. Sampah berantakan, piring-piring serta gelas bekas makan siang staf pengajar dan karyawan bertebaran. Demikian juga sepeda-sepeda siswa yang terparkir sembarangan.

Saat itulah terasa betul arti keberadaan seorang Kurijo yang selayaknya superman. Ia yang menyapu dan mengepel ruang kelas; membelikan makan siang bagi para pengajar; memarkirkan kendaraan pengantar siswa, atau merapikan sepeda siswa yang sering diparkir seenaknya, bahkan sampai mengusir kucing-kucing yang sengit berkelahi atau rusuh kawin di atas atap gedung. Namun semua itu tak lantas membuat derajat Kurijo dianggap setara.

Saat lembaga kursus itu mengalami defisit keuangan konon karena korupsi sebagian oknum pejabat kantor pusat sehingga gaji karyawan tertahan dan dibayarkan secara bertahap, Jo adalah karyawan terakhir yang mendapat amplop gaji.

Luar biasanya, tak pernah sekali pun ia mengeluh atau berusaha pinjam uang kepada kami saat tak punya uang. Hanya saja, saat itu ia terlihat lemas. Menurut salah satu staf administrasi, Jo sudah dua hari hanya minum air putih untuk menghemat uangnya. Alhasil, kami pun sepakat untuk urunan membelikannya nasi bungkus dan sekadar uang sangu.

Lalu apakah Jo dendam dengan segala perlakuan tidak adil itu? Apakah ia lantas pindah kerja sebagai tanda protes? Saya, yang saat itu juga mengajar di beberapa lembaga kursus lainnya, sering “memprovokasi” Jo untuk berhenti kerja dan mencari pekerjaan yang lebih baik di tempat lain. Karena, bagi saya, dengan segala ketekunan dan kerja gila-gilaannya, Jo berhak mendapat penghasilan lebih dan perlakuan yang lebih manusiawi. Bagaimana pun, sebagai OB, Jo juga manusia.

“Ndak ah, Mas,” jawab Jo dengan logat medok khas Tegalnya. “Kalau saya pindah, kasihan tempat kursus ini. Anak-anaknya juga kasihan, nggak ada yang ngurusin. Mereka kan sudah akrab sama saya. Lagian saya masih bujangan. Belum ada tanggungan, jadi ya tidak apa-apa.”

Saat itu saya tertegun, dan merenung. Apakah saya yang terlalu materialistis atau Jo yang kelewat pasrah dengan konsep hidup nrimo ing pandum-nya?

Sayang sekali, karena saya hengkang lebih dahulu dari lembaga kursus itu sebelum terakhir setahun kemudian saya dengar tempat itu ditutup karena dampak korupsi yang tak tertanggulangi, tak ada lagi kontak dengan Kurijo Ortega sampai sekarang.

Andai saya bisa bertemu dengannya kembali, mungkin saya akan katakan kepadanya, “Jo, you are my hero.”

Ya, ia pahlawan karena, kendati jauh lebih muda dari saya, secara tidak langsung mengajarkan banyak hal kepada saya tentang keikhlasan tanpa pamrih, kesabaran, profesionalisme kerja, dan juga menghargai perbedaan dalam hidup tanpa membeda-bedakan status atau latar belakang sosial ekonomi seseorang.

Jakarta, 15 Maret 2020



Tinggalkan komentar